Watu Poso Pola: Mau Digoyang, Tidak Mau Dicabut Oleh: Stefanus Satu, S.Pd *) , Bonavantura Abunawan, S.Pd *))

Mengisi liburan panjang Idul Fitri tahun 2022 ini saya mencoba mengeksplor keberadaan situs budaya Watu Poso Pola. Hal ini  saya lakukan untuk menjawab surat edaran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Nomor 422/2762/PK 2.1/202 perihal Surat Edaran dengan isinya pada poin pertama mewajibkan pengawas, kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan untuk mengunjungi destinasi wisata serta membuat artikel tentang destinasi wisata yang dikunjungi.

Terkait dengan hal tersebut, saya lebih memilih Situs Watu Poso Pola. Alasan saya adalah  dekat dengan kampung saya Kaca, Desa Golo Ketak, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. Tujuan saya mengangkat Situs Poso Pola dalam tulisan ini adalah bagian dari tanggungjawab saya dalam upaya menjaga dan melestarikan legenda Watu Poso Pola. Selain itu adalah berusaha untuk melawan lupa. Kalau hanya mendengar cerita saja dari orang-orang tua, terkadang cepat lupa, legenda yang diceritakan juga terkadang terpotong-potong sesuai kemampuan mengingat dari orang tua yang menceritakannya, sehingga tidak menghasilkan suatu cerita yang utuh dan lengkap yang dapat dibaca dan diwariskan oleh ahliwaris Pola Lengen.

Manggarai Barat memang kaya dengan obyek wisata, baik obyek wisata alam maupun obyek wisata budaya. Semua obyek wisata di Mabar akan memanjakan mata dan memikat hati para pengunjung sehingga membuat decak kagum dan bangga bisa hidup dan datang di Mabar.

Watu Poso Pola adalah salah satu situs budaya yang menjadi kekayaan Mabar. Hanya saja situs ini belum dikenal banyak  orang, bahkan pemerintah Mabar pun belum mengenalnya. Data situs budaya Posopola ini mungkin belum ada di database Pemda Mabar sehingga upaya untuk menawarkan keunikan Watu Poso Pola ke masyarakat umum belum terlalu intens dilakukan.

Profil Watu Posopola

Nama situs: Watu Poso Pola. Situs budaya Watu Poso Pola terletak di Dusun Betong, Desa Golo Ketak, Kec. Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur

Kalau hendak berkunjung ke situs Watu Posopola, dari Labuan Bajo mengikuti jalan utama jalur Nggorang Kondo Lando Noa Golowelu. Situs ini dari Labuan Bajo dapat menggunakan mobil atau sepeda motor dengan jarak tempuh lk satu jam sampai satu setengah jam. Kemudian turun di Kampung Betong. Dari jalan utama ke lokasi situs dapat ditempuh  jalan kaki dengan jarak lk 200 meter atau sekitar 10 sampai 15 menit. Watu Poso Pola berada satu lokasi dengan pekuburan orang kampung Betong dan dekat dengan sungai Wae Po,ang.

Watu Posopola tingginya lk 70 cm di atas permukaan tanah, lingkar keliling lk 30 cm, dan tertancap ke dalam tanah dengan kedalaman yang tidak diketahui. Menjadi keunikan Watu Posopola adalah jika digoyang dia mau tapi kalau dicabut tidak terangkat. Lokasi sebelah barat atau dekat Wae Poang banyak tumbuh pohon pohon lokal yang besar dan tinggi. Sebelah timurnya terbentang sawah yang luas milik orang Betong dan sebelah selatan adalah lokasi SDK Betong. Saat ini lokasi khusus Watu Posopola telah ditata dengan baik oleh warga kampung Betong sebagai anak cucu leluhur Polalengen

Sejarah Watu Posopola

Menurut sejarah yang dituturkan oleh Tu,a Golo Betong, Bapak Stefanus Jumpung (cucu dari leluhur Polalengen ), Watu Posopola adalah Batu yang dibawa oleh nenek moyang mereka dari Luwu, Sulawesi selatan. "Nenek moyang kami berasal dari Luwu, Sulawesi Selatan. Kata "Watu" adalah bahasa Manggarai yang  berarti Batu. “Poso” adalah kata bahasa Manggarai, dialek Kempo/Boleng yang berarti "Cape/lelah".  "Pola" berarti "pikul". Watu Poso Pola berarti Lelah / capeh karena pikul. Beban yang dipikul adalah Batu.

Mengenai hal tersebut ada sedikit perbedaan dengan yang dituturkan  oleh salah seorang   cucu dari Leluhur Pola Lengen , yaitu Bapak Bonavantura Abunawan, S.Pd. ( mantan Camat Boleng ) Menurut Bona, nama batu yang dibawa oleh leluhur mereka adalah Pola. Pola tidak merujuk pada bahasa Manggarai yang berarti Pikul. Pola merujuk pada nama marga leluhur mereka yang sudah meninggal. Batu ( Watu ) Pola berarti Batu Nisan leluhur mereka dari marga Pola yang meninggal pada aba IX masehi. Batu itu dicabut, diangkat dan dipikul oleh cucu Pola yaitu Nggasi yang hendak berangkat dari Tanah Luwu.

Kalaupun ada sedikit perbedaan cerita asal usul Watu Poso Pola antara Stefanus Jumpung dan Bonavantura Abunawan, tetapi keduanya mengarah pada satu nama dan obyek cerita yang sama. Karena kedua penutur di atas adalah sama- sama ahliwaris Pola lengen dan pemilik Watu Poso Pola.

Lebih lanjut Bonavantura Abunawan menceritakan bahwa Batu Nisan Pola atau Watu Pola di Tana Luwu dahulu kala sesungguhnya ada dua. Batu Nisan Pola itu merupakan Batu Nisan dari dua orang Puteri kembar dari Raja Luwu atau Datu' Luwu. Kedua orang putri kembar itu bernama Polalengen Ajuwara dan Polalengen Tojampu Laweng.

Polalengen Ajuwara atau Ajuwareng artinya Puteri Polalengen Pohon beringin tempat orang bernaung  dan Puteri Polalengen Tojampu Laweng artinya Puteri Polalengen yang tinggal di dalam Ayunan (Pajo) emas.

 Lalu oleh cucunya yg bernama Nggasi, salah satu Batu Nisan itu dicabut dan mohon restu sebagai penunjuk jalan menuju negeri yang tidak diketahuinya karena dia akan keluar dari istana dan hendak pergi ke sebuah negeri yang jauh yang dia sendiri belum ketahui. Hal itu dilakukan oleh si Nggasi, karena di istana Luwu terdengar kabar bahwa istana Kerajaan Gowa telah menerima agama Islam yang ditandai dengan disunatnya salah seorang Petinggi Kerajaan Gowa. Peristiwa Pengislaman di Gowa thn 1308 yang dilakukan oleh Datuk Ribandang - seorang Ulama asal tana Melayu atau Minangkabau - dengan cara disunat itu tersiar hingga ke Tana Luwu.

Proses Pengislaman dengan cara disunat tahun 1308 di istana Gowa inilah yang tidak diterima oleh istana Kerajaan Luwu yang mendorong seorang cucu raja Luwu yang bernama Nggasi itu harus menghindar dan keluar dari Tana Luwu.  Saat dia hendak keluar dari Tana Luwu itu dia memohon restu kepada neneknya di Makam Istana dgn mencabut Batu Nisan Pola dari neneknya yang bernama Polalengen  dengan mengucapkan dua hal sebagai Sumpah. Kedua hal yang menjadi Sumpahnya itu adalah: "......Nenek.., saya akan keluar dan pergi dari Tana Luwu ke negeri baru yang saya tidak ketahui. Untuk itu saya memohon dan mengajak kamu utk menemani saya dengan saya membawa Batu Nisanmu ini. Untuk itu saya bersumpah, Pertama, dimana negeri yang kamu kehendaki untuk saya tinggal dan berkuasa, di sanalah Batu Nisanmu ini akan tertancap dan tidak akan bisa dicabut oleh siapapun. Kedua, Saya tidak akan mau masuk Islam hingga keturunanku dikemudian hari. Jika ada keturunanku  dikemudian hari masuk Islam maka terkutuklah mereka  dengan tidak akan mendapatkan keturunan."!

Tiba di Nanga Tompong, Pota

Setelah si Nggasi itu mengucapkan ikrar dan memohon restu kepada neneknya di makam itu iapun mencabut batu Nisan Pola itu lalu berangkat meninggalkan Tana Luwu bersama beberapa orang temannya oleh karena mereka tidak mau menerima masuknya agama Islam ke Tana Luwu.

Berangkatlah mereka menuju sebuah negeri baru ke arah Selatan dari Tana Luwu yang mereka tidak ketahui sebelumnya. Setelah melalui sebuah perjalanan panjang yang cukup lama dan melelahkan di laut terdamparlah mereka di sebuah Pantai di Nanga Tompong di sebelah Timur Nanga Pota sekarang ini.

Konon rombongan kecil anak muda asal Tana Luwu yang berangkat satu Perahu tersebut terdiri atas 7 orang. Mereka masing masing membawa sesuatu atau barang dari kampung halamannya sebagai sarana Penunjuk Jalan dan membela diri. Ada yang membawa Babi dll, sementara si Nggasi membawa batu Nisan dari neneknya yang bernama Polalengen dan sebilah Pedang atau Samurai.Sesaat setelah mereka tiba di tempat itu si Nggasi lalu menancapkan Batu Nisan yang dia bawa itu ke tanah dgn tetap berasumsi kalau neneknya merestui dia tinggal di tempat itu dengan petunjuk batu Nisan itu tertancap dan tidak bisa dicabut.

Saat mereka tiba di Nanga Tompong rombongan kecil ini memulai kehidupan baru dengan segala macam kesulitan,terutama soal makanan. Berhari hari bahkan berbulan bulan lamanya mereka berada di tempat itu namun mereka belum berani meninggalkan pantai dan perahu yang mereka gunakan untuk pergi jauh ke pedalaman. Mereka mempertahankan hidup selama berada di tempat itu dengan memakan apa saja yang didapat dan bisa dimakan. Suatu ketika mereka benar benar tidak menemukan sesuatu yang bisa dimakan maka si Nggasi pergi agak jauh ke hutan ke Pedalaman untuk mencari sesuatu untuk dimakan sementara teman temannya tetap berada di sekitar Perahu mereka di Pantai.

Si Nggasi berada di hutan cukup lama. Oleh karena si Nggasi itu cukup lama di hutan dan belum pulang juga maka  teman temanya di Pantai semakin kelaparan. Dalam suasana gelisah dan lapar seperti itu mereka melihat ada cukup banyak Jamur  yang bertumbuh subur di badan Perahu mereka. Lalu tanpa berpikir banyak merekapun memetik Jamur itu lalu dibakar utk dimakan. Namun sangat disayangkan apa yang terjadi..?? Setelah mereka memakan Jamur itu merekapun mabuk, pusing,muntah muntah dan akhirnya pingsan tak sadarkan diri.

Dalam keadaan seperti itu si Nggasi pun pulang dari hutan. Ia membawa sesuatu yang dia ambil dari hutan utk dimakan namun saat tiba disitu ia sangat terkejut dan panik saat dia melihat teman temannya dalam keadaan pingsan, muntah muntah oleh karena telah memakan jamur yang mereka ambil dari badan perahu mereka. Dalam keadaan panik seperti itu iapun berniat utk segera pergi meninggalkan tempa itu oleh karena ia menduga bahwa teman temannya itu akan segera meninggal. Lalu ia mulai menggoyang batu Nisan neneknya dan dicabutnya. Tenyata batu Nisan itu dapat dicabutnya dengan mudah maka iapun pergi dan memikul batu Nisan itu meninggalkan Nanga Tompong dan teman temannya yang sedang sekarat yang diduganya sudah meninggal dunia.

Tiba di Wangkung, Cumbi-Rahong

Iapun pergi seorang diri menuju pedalaman. Perjalanannya ke pedalaman itu diduga ia berangkat menuju wilayah Congkar, Rembong, Elar dan terus ke arah Barat dalam kurun waktu yang cukup lama. Di setiap tempat dia berhenti ia selalu menancapkan Batu Nisan Neneknya itu dan mencabutnya kembali ketika ia hendak berangkat meninggalkan tempat itu menuju tempat baru lagi.

Setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan sejak meninggalkan Nanga Tompong pada suatu hari si Nggasi itu tiba di Kampung Wangkung, Cumbi,wilayah Rahong. Saat tiba pertama di Kampung itu ia tidak langsung masuk ke rumah orang.Ia masih berhenti di luar kampung dan mencari tempat yang dirasakan aman dan tersembunyi lalu ia menancapkan Batu Nisan Pola itu di tempat itu. Hal seperti itu ia selalu lakukan pada saat dia tiba di suatu Kampung manakala dia mau berhenti untuk istirahat atau tinggal untuk beberapa lama sejak Perjalanan jauhnya dari Nanga Tompong. Setelah menancapkan Batu Nisan di tempat yang aman itu iapun masuk kampung dan melapor diri kepada orang di kampung itu. Dan ia naik serta menumpang sebagai tamu di sebuah keluarga di tempat itu. Setelah dia memperkenalkan diri tentang asal usul dan riwayat perjalanannya yang cukup panjang iapun diterima dengan baik oleh orang di kampung Wangkung Cumbi itu. Ia tinggal dan menumpang cukup lama di sebuah keluarga di tempat itu namun ia tidak lupa sesekali mengecek dan memeriksa Batu Nisan neneknya yang sengaja ia sembunyikan dan ditancapkan di hutan atau semak semak di luar kampung orang itu. Ia selalu mengecek Batu Nisan Pola itu untuk selalu mengontrol dan memastikan sekiranya Batu Nisan neneknya itu sudah tertancap dan tidak dapat dicabut ataukah masih bisa dicabut sehingga menjadi Petunjuk bagi dirinya untuk masih harus melanjutkan Perjalanannya ataukah harus menetap. Ia tinggal dan menumpang cukup lama di kampung Wangkung itu hingga suatu ketika iapun jatuh cinta kepada seorang anak gadis di kampung itu.

Di kampung Wangkung Cumbi itu ia diterima dengan baik. Iapun menumpang pada sebuah keluarga di kampung itu dan tinggal cukup lama.Ia kemudian jatuh cinta dan menikah dengan seorang anak gadis di tempat itu. Setelah menikah dan tinggal cukup lama di kampung itu si Nggasi itu tetap selalu mengecek Batu Nisan neneknya itu di luar kampung. Suatu ketika saat ia mencoba mencabut Batu Nisan itu, seketika itu Batu Nisan itupun tercabut dengan mudah. Dengan tercabutnya Batu Nisan itu Ia menyadari bahwa Roh Neneknya belum merestui dia untuk tinggal menetap di tempat itu walaupun ia sudah menikahi seorang gadis di tempat itu. Kemudian iapun melapor dan meminta izin kepada mertua dan isterinya untuk berangkat lagi meninggalkan tempat itu.Setelah ia memberikan Penjelasan kepada mertuanya bahwa Neneknya belum merestui dia untuk tinggal menetap di tempat itu dengan tanda masih dapat dicabutnya Batu Nisan neneknya itu mertuanyapun akhirnya dengan berat hati terpaksa merestui dia untuk berangkat lagi dan merestui Puterinya pergi bersama suaminya  meninggalkan Kampung Wangkung. Sang isteri juga nekat untuk pergi meninggalkan kampung halamannya mengikuti suaminya yang bertempat untuk meneruskan Perjalanan panjangnya hingga ke suatu tempat dimana neneknya merestuinya untuk tinggal menetap. Selanjutnya pada suatu hari berangkatlah ia bersama isterinya ke arah Barat menuju suatu tempat yang belum diketahuinya.

Nggasi dan isterinya itu pun memulai suatu perjalanan Panjang lagi bersama isterinya.Dalam Perjalanan itu seperti biasanya saat setiap waktu ketika mereka hendak berhenti untuk sementara atau ketika hendak tinggal cukup lama di suatu tempat Nggasi selalu menancapkan Batu Nisan Pola itu ke tanah. Dan ketika Batu Nisan Pola itu masih bisa dicabut dengan mudah maka iapun memikulnya kembali dan pergi meninggalkan tempat itu lagi. Hal seperti itu ia selalu lakukan untuk mendapatkan kepastian tentang Petunjuk dari neneknya dimana dia harus tinggal menetap.

Setelah menempuh Perjalanan panjang bersama isterinya itu mereka berdua pun tiba di suatu tempat yang saat ini disebut Betong,wilayah orang Mbuit. Saat mereka berdua tiba di tempat itu ia dan isterinya berhenti di pinggir kali karena kelelahan dan hendak mengaso dan mau minum air di tempat itu. Batu Nisan Pola itupun diletakkannya dengan cara ditancapkan  kedalam tanah seperti yang biasa dilakukannya setiap hendak berhenti selama dalam Perjalanan panjangnya sejak dari Nanga Tompong.

Setelah menempuh Perjalanan Panjang mulai dari Tana Luwu akhirnya suatu saat kakek Nggasi tiba di Betong. Sebuah perjalanan panjang yang sangat menantang, penuh resiko dan sangat melelahkan. Perjalanan Panjang itu ditempuh dengan alasannya adalah demi menjaga Kehormatan diri atau harga  diri agar alat Vitalnya tidak dipegang orang atau dipotong atau disunat untuk masuk Islam.Dan tujuan dari Perjalanan itu adalah untuk mencari negeri baru yang nyaman bagi dirinya dan anak cucu Keturunannya di kemudian hari untuk menetap dengan berjanji dan berkomitmen penuh Kesetiaan kepada arwah Neneknya dengan memohon Petunjuk bahwa dimana Batu Nisan milik Sang Nenek terhormat ini ditancap atau tertancap dan tidak dapat dicabut lagi maka disitulah dia akan tinggal menetap dan berkuasa hingga keturunannya dikemudian hari. Dan sejak Perahunya berlabuh di Nanga Tompong si Nggasi berhenti untuk beberapa lama disana selanjutnya ia melakukan perjalanan panjang yang menantang dan melelahkan demi menemukan Negeri Impiannya itu. Bagaimana tidak,seorang pendatang dari jauh di Tana Luwu Sulawesi Selatan sekarang, melakukan Perjalanan panjang dan menjelajahi suatu wilayah di Flores Barat yang sekarang disebut wilayah Manggarai,tentu saja tidak mudah. 

0 Komentar

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Inputan yang harus diisi ditandai *