Ketika Aku Disapa "Guru"

Oleh: Stefanus Satu, S.Pd

Tepat Hari ini saya sudah menjadi guru 28 tahun 7 bulan. Tepatnya menjadi guru ketika saya diberikan tugas oleh Kepala SMA Swasta Katolik St Antonio Bauca di Kabupaten Baucau Provinsi Timor Timur yang merupakan provinsi ke 27 RI saat itu (Juli 1994), sekarang Negara Timor Leste. 

Nama saya Stefanus Satu. Satu diamil dari nama kakek saya dari pihak bapak. Secara kebetulan juga saya adalah laki-laki satu-satunya. Dalam keluarga kami ada 6 bersaudara, 5 perempuan dan satu laki-laki. Saya anak ke empat. Ayah bernama Markus Makur dan sudah meninggal tahun 1970 ketika saya berumur 4 tahun. Mama bernama Imakulata Ija dan sudah meninggal tahun 2007. Pendidikan saya dari SD sampai kuliah dibiayai oleh mama dan kakak saya.

RIWAYAT PENDIDIKAN 

Saya adalah alumni SDK Betong. Masuk SD tahun 1974 dan tamat tahun 1981. SDK Betong merupakan lembaga pendidikan dasar swasta katolik milik yayasan keuskupan Ruteng, Manggarai. Guru guru saya waktu itu adalah Bapak Theodorus Tulur (Kepala Sekolah), Bapak Romanus Hamis, Bapak Yohanea Hurma, Bapak Hendrikua Usman, Bapak Yakobus Senudin dan Ibu Angela Sinar. 

Saya sungguh berbangga dan berterima kasih karena memiliki guru seperti mereka. Mereka sungguh memahami akan profesi sebagai guru. Memahami dan melaksanakan tugas dan fungsi pokok dengan sadar. Mengetahui dengan kesadaran penuh bahwa melaksanakan tugas sebagai guru adalah pelayanan terhadap sesama. 

Menurut guru SD saya, tugas pelayanan sebagai guru yang saya jalani sekarang sudah teridentifikasi sejak SD. Di SD pada kelas rendah saya sering membantu teman teman yang lamban dalam kemampuan membaca dan berhitung baik ditunjuk maupun tidak diminta. Pada kelas atas membantu teman teman pada pelajaran Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia. Saya masih ingat ketika guru guru bertanya mengenai cita-cita kami sebagai murid waktu itu, teman teman lain selalu menjawab ingin menjadi tentara, dokter, presiden, pilot, dan lain-lain. Tetapi saya dengan senang dan bangga selalu menjawab ingin menjadi guru. Selain adanya faktor internal, munculnya keinginan saya menjadi guru terinspirasi oleh figur guru guru SD. Pada saat itu guru SD dianggap sebagai strata sosial tertinggi di desa. Guru diperhitungkan sebagai orang yang memiliki kemampuan lebih dari yang lain. Inilah mungkin pendasaran yang logis sehingga kepada guru disematkan satu sebutan kehormatan versi kultur Manggarai sebagai "Tuang Guru". 

Setelah tamat SD saya pun lanjut ke SMP. Karena di desa tidak ada SMP terdekat, akhirnya diputuskan mendaftar di SMP Negeri Komodo Labuan Bajo yang cukup jauh dari kampung . Walau pun jauh, itu tidak menyurutkan semangat saya untuk sekolah. Saya harus berjuang keras agar bisa tamat dari SMP untuk bisa masuk ke jenjang berikutnya. Saya masih ingat, ada 5 orang yang sekampung dan seangkatan dengan saya ikut mendaftar dan test masuk di SMPN Komodo . Namun yang lulus test hanya saya. 

Di SMP ini saya bertemu dengan guru guru yang hebat. Bapak Jhon Gibons (Kepala Sekolah), Bapak Herman Mautuka, Bapak Andreas Nanjo, Bapak Feliks Beda Tukan, Bapak Ben Nabu Teluma, Bapak Falens Dulmin dan guru guru lainnya. Pada jenjang ini potensi keinginan menjadi guru dipertegas lagi. Metode mengajar yang digunakan oleh beberapa guru SMP seperti Bapak Feliks Beda Tukan (Guru Mapel Bahasa Indonesia) dan Bapak Ben Nabu Teluma (Guru Mapel Matematika) yang menugaskan siswa mempelajari dan menguasai satu unit materi pembelajaran dan mempresentasikannya kepada siswa lain mendorong saya dan teman teman untuk bisa menjadi guru bagi teman yang lain. Sekarang baru saya tahu bahwa sebenarnya saat itu tanpa disadari guru guru telah memforma saya dan teman teman untuk bisa menjadi guru yang sebenarnya di kemudian hari. 

Untuk mewujudkan idealisme saya menjadi guru, maka setelah tamat SMP saya ikut daftar dan test masuk di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) St. Aloysius Ruteng Juli 1984. Memilih satuan Pendidikan ini, disamping untuk merealisasikan idealisme saya sendiri tetapi juga untuk memenuhi harapan orang tua. Orang tua saya berpesan bahkan memerintah mendaftar di SPG. Alasan mereka sederhana saja, sekolahnya tidak lama dan cepat mendapatkan pekerjaan menjadi guru. Harapan itu merujuk pada beberapa orang yang selesai sekolah di SPG langsung diangkat menjadi guru. Selain itu juga kemampuan ekonomi orang tua yang tidak mendukung untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 

Setelah daftar dan ikut test, saya dinyatakan lulus dan diterima. Namun hasil itu tidak membuat saya senang dan gembira. Adanya ekspetasi untuk menempuh pendidikan sampai pada pendidikan tinggi menjadi sumber problematik setelah diperhadapkan dengan keinginan orang tua. Orang tua tahu bahwa hanya melalui SPG saja yang bisa membuat orang menjadi guru. Pemikiran seperti itu menjadi rasional saat itu (1980an) karena tidak adanya figur guru tamatan perguruan tinggi. Yang ada adalah guru tamatan SPG. 

Motivasi yang tinggi untuk sekolah sampai pada pendidikan tinggi, maka saya mengubah haluan untuk tidak meneruskan sekolah di SPG (walaupun harus mengabaikan harapan orang tua). Saya memutuskan untuk mendaftar lagi di SMA. 

Saya mendaftar dan ikut test lagi di SMA Negeri 526 (sekarang SMAN 1 Langke Rembong) Ruteng. Saya pun lulus dan diterima di Ruteng. Orang tua pun terpaksa mengikuti keputusan saya untuk masuk di SMA. Belajar di SMAN 1 Ruteng berjalan mulus. Prestasi saya dari kelas 1 sampai kelas 3 selalu masuk dalam kelompok 5 besar terbaik. 

Prestasi itu saya tidak mau sia-siakan. Pada semester 5 (lima) di kelas 3, ada tawaran masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melalui jalur Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK) dengan seleksi nilai rapor semester 1 sampai dengan semester 5. Peluang ini saya tidak mau berlalu begitu saja. Peluang ini sangat langka dan saya harus ikut. Guru wali kelas pun mendukung dan menyuruh saya dan beberapa teman sekelas (Hilarius Madin, Philipus Pandu, Frans Ruben dan Benediktus Roden) untuk ikut dalam seleksi PMDK itu. Asa untuk menjadi guru tidak pernah pupus dalam hati saya. Harapan orang tua juga agar saya kelak menjadi guru terus menggema dalam sanubari. Untuk memenangkan dan mewujudkan harapan akan menjadi guru, saya memantapkan keputusan untuk memilih Universitas Nusa Cendana Kupang, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Jurusan Pendidikan Dunia Usaha. Dalam hati berharap semoga pilihan ini tidak gagal dan direstui Tuhan.

Menanti berita hasil PMDK, kemabali saya konsen pada belajar mempersiapkan diri menghadap ujian akhir yang dikenal EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Saya mencurahkan segala pikiran dan tenaga untuk menjadi pemenang ujian akhir ini. Alasannya adalah untuk menunjukkan kepada orang tua di kampung bahwa saya bisa dan mereka bangga atas keberhasilan saya. Disamping itu agar saya bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Waktu dilaksanakannya EBTANAS tiba dan saya melaksanakan ujian itu dengan tanpa hambatan. Alhasil saat pengumuman kelulusan tiba, saya dinyatakan lulus dan masuk ranking 5 besar sekolah. Saya sangat bersyukur dan bangga karena perjuangan saya tidak berujung pada kegagalan, demikian juga perjuangan dan dukungan orang tua tidak sia-sia. 

Bersamaan dengan menikmati kebahagiaan atas kelulusan EBTANAS, saya pun menantikan kabar hasil PMDK. Pada akhir bulan Mei 1987, kabar itupun datang. Saya mendapat informasi melalui Radio Pemerintah Daerah (RPD) Ruteng yang dibaca sekitar jam 20.00 Wita. Informasi itu menyatakan saya diterima di Undana Kupang melalui jalur PMDK. Kelulusan saya melalui jalur ini membuat saya masuk Undana Kupang dengan Tanpa Tes Masuk. Kebahagiaan saya semakin lengkap. Demikian juga orang tua yang sama-sama mendengar berita itu melalui radio. Senang, bangga dan bahgia menjadi satu. Kelulusan PMDK ini membuat peluang saya untuk meneruskan kuliah ke PTN semakin terbuka. 

Pada pertengahan Juni 1987 saya bersama teman sekampung , Tadeus Midin (sekarang bertugas di Papua sebagai guru juga) berangkat ke Kupang untuk kuliah. Dengan berbekalkan surat panggilan dari kampus Undana Kupang, saya berangkat dengan tanpa beban. Saya tidak pikir lagi soal lulus dan tidak lulus dengan ujian masuk seperti yang dialami oleh teman-teman saya yang lain. Sayapun resmi menjadi mahasiswa baru Undana Kupang, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, serta Jurusan Pendidikan Dunia Usaha. Pada fakultas dan jurusan ini saya didik, dilatih dan dibina untuk menjadi seorang guru yang mumpuni, professional dan berkompeten. Di sini saya harus bersaing dengan teman-teman mahasiswa lain dalam satu jurusan dan seangkatan dari berbagai tempat asal. Namun demian saya tetap berusaha untuk terus menyuburkan spirit keberhasilan melalui tekun belajar, disiplin, komitmen tinggi dan tekun berdoa. Oleh karena perjuangan yang berfondasikan spirit itulah maka saya bisa menyelesaikan kuliah dengan baik pada bulan Agustus 1993. Kalaupun ada sedikit krikil permasalahan yang dihadapi tapi saya bisa menyelesaikannya sendiri.

DIA MENYAPA SAYA GURU

Setelah wisuda, ada niat untuk langsung mencari pekerjaan di Timor Timur. Namun niat itu terkurung oleh ketiadaan modal uang sebagai bekal biaya hidup sebelum mendapat pekerjaan. Akhirnya saya memutuskan pulang kampung untuk mengumpulkan modal sebagai bekal hidup di perantauan. Keputusan pulang kampung semakin kuat oleh karena adanya niat untuk melaporkan hasil kuliah sebagai bentuk pertanggungjawaban saya yang telah diutus oleh keluarga untuk kuliah. Sayapun pulang kampung.

Setelah sampai di kampung saya diterima oleh anggota keluarga. Pada malam pertama saya di kampung, raut bahagia dan bangga atas kehadiran saya di tengah keluarga nampak jelas di wajah mereka. Kebahagian dan kebanggan mereka semakin bertambah ketika saya melaporkan bahwa saya sudah selesai kuliah dan sudah sarjana. Saya pun menunjukkan kepada anggota keluarga ijasah sarjana dan foto-foto wisudah sebagai bukti selesai kuliah. Hal ini saya lakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban saya sebagai anak yang diutus untuk pergi kuliah. Tidak hanya anggota keluarga inti saya, anggota keluarga lain yang mengetahui saya ada, mereka pun datang untuk berjumpa sekedar hanya untuk melepas kerinduan karena lama tak bertemu. Mereka semua membaca ijasah dan melihat foto wisuda saya.

Setelah membaca ijasah dan melihat foto, salah seorang saudari saya yang sulung, Agnes Ganus, entah dia sadar atau tidak menyapa saya dengan sebutan GURU. Sontak saya kaget. Tidak pernah menduga saya disapa Guru. Inilah sebutan dan panggilan Guru yang pertama yang ditujukan kepada saya. Sebutan Guru yang ditujukan kepada saya ini justru datang dari saudari saya yang telah berkoban banyak membiayai sekolah saya dari SD sampai kuliah. Saya memang kuliah di lembaga pendidikan untuk menjadi guru, tapi saya belum jadi guru. Ilmu guru yang diterima belum saya praktekkan dihadapan siswa. Banyak hal yang menjadi pertentangan antara fakta yang ada pada saya dengan sebutan Guru ini. 

Setelah dilakukan refleksi yang mendalam atas sebutan Guru ini, saya mencoba menangkap maknanya. Pertama, sebagai makna perutusan. Saya sudah selesai kuliah dan sudah pegang ijasah. Saya semestinya pertanggungjawabkan ilmu dan ijasah yang diterima dengan melaksanakan tugas sebagai guru di sekolah. Dengan kata lain dia memerintahkan saya, pergi dan melamar ke sekolah-sekolah untuk menunaikan tugas sebagai guru. Kedua, makna moral. Guru adalah figure yang harus digugu dan ditiru. Agar bisa ditiru maka moral guru harus baik dan lebih baik. Nilai-nilai kebaikan yang ada pada guru harus bisa dijadikan contoh dan dibagikan untuk yang lain terutama anak didik, baik melalui pikiran, perkataan maupun perbuatan.

MELAMAR PEKERJAAN

Setelah tinggal beberapa bulan di kampung untuk mengumpulkan modal, pada Akhir Mei 1994 saya mohon persetujuan dan dukungan keluarga untuk keluar dari kampung, pergi melamar pekerjaan. Kota tujuan yang menjadi tempat dapat merealisasikan harapan dan cita-cita menjadi guru adalah DILI, ibu kota Provinsi Timor Timur saat itu (sekarang menjadi ibukota Negara Timor Leste).

Saya menginjakkan kaki di tanah Timor Leste pada awal bulan Juni tahun 1994. Tujuan saya sangat jelas yaitu mempertanggungjawankan ijasah pendidikan terakhir sebagai sarjana pendidikan kepada orang tua yang telah bertatih tatih membiayai pendidikan saya . Saya harus bisa membuat mereka senyum dan bahagia karena sudah menyelesaikan S1 dan juga sudah mendapatkan pekerjaan untuk bisa membiayai hidup saya sendiri, dan syukur juga bisa membantu orang tua. 

Saya diterima oleh saudara saya (Abraham Adil, Yohanes Hani - sekarang menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Manggarai Barat, Erik Senen Kapu - sekarang dosen Matematika Universitas Katolik St Paulus Ruteng) di Dili (Ibu kota Negara Timor Leste). Mereka semua adalah orang orang yang sungguh berjasa bagi saya, disamping karena telah memberikan penguatan kepada saya juga karena telah memberikan tumpangan selama kurang lebih sebulan. Ada satu pernyataan yang sungguh sungguh menantang buat saya dari saudara saya di atas. " Stef, jangan pernah berharap bahwa kami akan membantumu mencari pekerjaan. Tidak. Tapi kami berkewajiban memberikan tumpangan kepadamu selama mencari pekerjaan. Ada banyak sekolah di Dili dan juga di luar Dili. Silakan menulis banyak lamaran dan bawa ke sekolah sekolah". Pernyataan menantang ini membuat dan menumbuhkan spirit perjuangan untuk saya mulai menuliskan surat lamaran dan menghantarnya ke sekolah sekolah seperti SMAK St Paulus Dili, SMAK St Antonius Baucau dan beberapa sekolah lainnya. 

Pada pertengahan Juli 1994 saya dipanggil oleh Kepala SMAK St Antonius Baucau. Saya sangat senang dan bahagia dan berharap saya bisa diterima menjadi guru di sana. Dewa keberuntungan datang. Saya dinyatakan diterima menjadi guru honor di SMAK St Antonius Baucau. Pada 18 Juli 1994 sesuai penugasan yang diberikan oleh kepala sekolah melalui kepala sekolah urusan kurikulum, adalah hari pertama saya masuk kelas. Pada hari itulah saya secara defacto melaksanakan tugas dan disapa sebagai guru yang sebenarnya. Hari itu adalah hari yang penuh bahagia dan membanggakan bagi saya. Sesuai jurusan saya, kepala sekolah menugaskan saya untuk mengampuh Mata Pelajaran Ekonomi dan Akuntansi. Tetapi karena ketiadaan guru untuk mata pelajaran yang lain, saya juga ditugaskan untuk mengampu Mata Pelajaran Sejarah, Geografi, Bahasa Inggris dan Matematika. Saya menerima tugas itu dan sungguh saya menikmatinya. Saya tidak mempersoalkan berapa honor yang diterima dari sekolah atas tugas itu. Bagi saya bahwa saya sudah bisa berbagi apa yang saya miliki kepada mereka yang sungguh membutuhkanya, apalagi terhadap anak didik yang menjadi harapan orang tua, bangsa dan Negara.

Saya sudah menjadi guru yang sebenarnya. Tapi masih sebagai guru honor. Penggajiannya bergantung pada kepala sekolah. Keberlanjutan akan keberadaan serta kesejahteraan saya di sekolah ini tidak tergaransi. Karena itu niat untuk mencoba melamar menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Guru muncul. Peluang itupun datang. Pada pertengahan Agustus 1994 mengikuti test CPNS di Dili. Rejeki itu datang . Saya dinyatakan Lulus. Pada Awal Desember 1994 saya terima SK CPNS dan Surat Perintah Tugas di SMEAN Manatututo, Kabupaten Manatuto. Di Manatuto saya bertugas selama 5 tahun ( 1995-1999). Timor Timur merdeka setelah dilakukan referendum Tahun 1999. Warga Indonesia yang ada di Timor Timur saat itu diminta untuk mutasi kembali ke NKRI. Saya minta untuk kembali ke daerah asal di Labuan Bajo. Saya mulai bertugas di SMKN 1 Labuan Bajo pada Januari 2000 sampai sekarang.

0 Komentar

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Inputan yang harus diisi ditandai *