EMPO WONTONG DAN EKO WOSA

EMPO WONTONG DAN EKO WOSA

Oleh: Stefanus Satu, S.Pd

Cerita mengenai bagaimana Orang Lara sampai Empo Wontong dan bagaimana akibatnya kalau Empo Wontong itu dilanggar, sudah dimuat dalam tulisan sebelumnya ( Baca: Orang Lara Empo / Ireng Wontong). Kemanjuran Empo Wontong bagi seluruh warga Lara sangat tinggi. Artinya Empo Wontong ini kalau dilanggar maka akan mengakibatkan sakit Deres weki ( Tubuh terlihat kuning dan tidak sehat). Hal itu disampaikan Petra ( seorang warga Lara yang tinggal di Riang Cumbi ) sebagai orang yang mengalami langsung akibat makan daging atau telur Wontong. Petra bersaksi. “Saya percaya kalau reaksi dari makan wontong ini bisa mengakibatkan lasa deres atau mungkin hampir sama dgn penyakit kuning, karna saya sendiri pernah mengalaminya. Ini terjadi bukan karena tidak tahu kalau kita org Lara tidak boleh makn Wontong, tetapi karena rasa ingin tahu dan bukti,  apa benar kalau  kita makan Wontong atau telurnya maka akan terjadi sakit. Waktu SD mama pernah  cerita kalau kita orang Lara tidak boleh makan Wontong yang disebut  Empo wontong. Tetapi mama  tidak menjelaskan kepada saya mengapa orang Lara  Empo Wontong. Dalam pemahaman pribadi saya, sungguh tidak masuk akal, kita orag Lara manusia tapi punya Empo dari Wontong. Tidak masuk diakal menurut pribadi saya dan muncul rasa ingin tahu dan pembuktian. Waktu kelas 2 SMP saya tinggal di rumah bersama kakak perempuan saya di Sernaru.Kakak ipar saya (suami kakak perempuan ) punya hobi mencari telur Wontong, dan sering dapat. Suatu hari kakak ipar saya pergi ke hutan untuk mencari telur wontong. Senang bahwa ketika pulang dia berhasil membawa telur wontong. Tergoda dengan besarnya telur itu, saya pun makan telur itu setelah direbus. Setelah beberapa buln kemudian, tiba-tiba  saya jatuh sakit. Awalnya hanya sakit panas biasa. Tetapi panasnya terus menerus. Kadang panasnya turun, tapi kemudian naik lagi. Panas disertai dengan diare. Setelah beberapa lama terjadi perubahan warna kulit saya. Dari warna biasa ke warna kuning. Mama bertanya kepada saya apakah saya pernah makan daging atau telur wontong. Saya pun menjawab, kalau saya pernah makan telur Wontong. Saya menjawab mama kalau saya pernah makan telur Wontong. Mama pun langsung menduga bahwa saya melanggar Empo Wontong. Mama pun bergerak cepat mencari orang tua yang dapat menyembuhkan sakit saya. Mama pergi ke Cumbi untuk bertemu dan memohon bantuan Kakek Empo Tia. Kakek bisa menyembuhkan orang sakit karena melanggar Empo Wontong. Berkat kepintaran Empo Tia, saya akhirnya sembuh”.

Pada bagian ini saya focus pada apa yang dibuat seseorang warga Lara jika melanggar Empo Wontong. Di atas Petra hanya menceritakan bahwa ketika dia terkena sakit karena melanggar Empo Wontong, dia meminta bantuan kepada Kakek Empo Tia. Petra tidak menjelaskan apa dan bagaimana yang dibuat oleh Kakek Empo Tia untuk menyembuhkan sakit dari Petra serta  apa dan bagaimana pula yang dibuat Petra serta mendapat petunjuk atau arahan dari Kakek Empo Tia.

Pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2022 saya berkunjung ke rumah Bapak Paulus Habet di Labuan Bajo. Dia adalah orang tua sekaligus sesepuh warga Lara baik yang ada di Beo Lara maun yang ada di Riang-riang Lara. Di sela begitu banyaknya cerita mengenai Lara dan keluarga Lara, saya pun sempat bertanya kepada sesepuh ini mengenai apa yang dibuat sebagai tindakan pengobatan atau mungkin pertolongan pertama bagi sesoarang warga Lara yang sakit karena diketahui melanggar sumpah Empo Wontong. “Menurut yang Kae tahu, dengar, atau mungkin pernah melihat dulu, apa yang dibuat sebagai tindakan pengobatan atau pertolongan pertama untuk menyembuhkan jika seseorang diketahui melanggar sumpah Empo Wontong” Bapak Paulus Habet menjelaskan panjang lebar. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan di atas. Dia menjelaskan bahwa leluhur kita dulu pintar dan hebat. Mereka membuat Aturan Adab yaitu Empo Wontong. Aturan Adab Empo Wontong sebenarnya mengingatkan kita agar berhati-hati dalam berkomunikasi, memberikan informasi atau menerima informasi. Dalam berkomunikasi diharapkan untuk bisa mengatakan yang sebenar-benarnya atau sejujur-jujurnya. Kesalahan kita dalam berkomunikasi akan berakibat kurang baik bagi pihak yang memberikan informasi maupun untuk yang menerima informasi. Jujur dalam mengatakan sesuatu. Sesuatu yang benar jangan diputar balik yang pada akhirnya menjadi salah. Demikianpun sebaliknya yang salah jangan diupayakan untuk bisa menjadi benar. Yang salah katakana salah dan yang benar katakana benar.

Leluhur kita tidak hanya meninggalkan aturan seperti Empo Wontong dan sanksinya untuk kita sebagai pewarisnya, tetapi mereka juga memberikan kepada kita solusi sebagai tindakan pengobatan yang dapat kita lakukan  ketika mengalami sakit akibat melanggar Empo Wontong. Disini leluhur kita menunjukkan kecerdasan dan kebijakannya. Mereka tidak hanya membuat aturan adab dan sanksinya, tetapi juga solusi yang diambil ketika mengalami sakit akibat melanggar aturan Empo Wontong. Solusi ini menunjukkan bijak dan sayangnya leluhur kepada kita sebagai penerima warisan cerdas dan bijak itu.

Lalu Bapak Paulus menjelaskan apa dan bagaimana tindakan pengobatan jika terjadi sakit karena melanggar Empo Wontong. Kemanjuran Empo Wontong untuk kita Orang Lara itu ada dan terjadi serta tidak hanya sekedar cerita. Cerita pembuktian adanya sanksi sakit karena melanggar Empo Wontong oleh  Petra di Cumbi adalah satu dari sekian banyak testimoni keberadaan aturan adab Empo Wontong untuk orang Lara.

“Tindakan yang dapat kita lakukan dan dipercaya  untuk dapat menyembuhkan setiap orang Lara yang menderita sakit akibat makan Wontong dan telurnya adalah “Eko Wosa”.  Dia yang sakit itu disuruh untuk menggendong Wosa lalu jalan di tengah kampung sebanyak tiga kali. Selama dia berjalan di tengah kampung diupayakan untuk tidak menyapa orang lain atau menjawab sapaan orang lain”. Setelah si sakit melaksanakan cara seperti itu maka sejak saat itu dia akan mengalami penyembuhan secara pelan-pelan.

Mengapa Eko Wosa Manuk

Mari kita melihat bagaimana hubungannya antara Empo Wontong dengan Eko Wosa. “Eko Wosa” adalah dua kata bahasa Manggarai versi Kempo. Eko adalah kata kerja bahasa Manggarai yang berarti gendong atau menggendong. Eko artinya meletakkan beban dipunggung dari dia yang menggendong dan diikat dengan tali ata benda lain yang dapat difungsikan untuk mengikat supaya kuat dan tidak jatuh saat berjalan. Wosa diartikan dengan suatu wadah penampung yang terbuat dari anyaman daun gebang. Ada macam-macam jenis wosa menurut versi orang Kempo, tergantung fungsinya untuk apa. Ada Wosa Manuk, ada wosa Kaba dan ada wosa latung. Wosa Manuk artinya sangkar tempat ayam bertelur atau tempat khusus anak ayam bersama induknya tidur di malam hari yang sengaja ditangkap dan dimasukkan ke dalam Wosa karena anak ayam belum bisa bertengger di pohon. Tujuannya adalah agar terluput dari predator ayam seperti anjing, kucing, ular, burung malam atau bahkan bisa juga manusia. Wosa Kaba artinya anyaman dari daun gebang yang sengaja dibuat untuk menyimpan macam-macam barang yang kemudian diangkut menggunakan tenaga kerbau ( Kaba ).Sedangkan Wosa Latung artinya anyaman dari daun gebang yang dibuat khusus untuk menyimpan jagung ( Latung) atau barang yang lain. Sedangkan jenis Wosa yang digunakan untuk tindakan penyembuhan sakit karena Empo Wontong adalah Wosa Manuk.

Lalu pertanyaan lebih lanjut adalah mengapa Wosa Manuk yang diambil dan bukan Wosa yang lain. Kembali pada tulisan terdahulu dengan judul “Orang Lara Empo / Ireng Wontong”. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa Sumpah itu disimbolkan dengan sembeli burung yang disebut Wontong sebagai pegganti ayam, sekaligus dilarang dan tidak boleh makan daging termasuk telur Wontong. Wontong sebagai pengganti ayam. Seharusnya adalah ayam. Namun karena ada alasan yang cukup kuat untuk dipertimbangkan secara ekonomi dan budaya maka ayam diganti dengan Wontong. Memang kalau tidak ada burung lain yang bisa ditangkap saat itu, pasti ayam jadi dipotong. Wosa manuk tempat ayam bertelur dan tempat induk dan anak ayam yang masih kecil berlindung, dan mendapatkan kehangatan dan keamanan di malam hari. Seharusnya kita berterima kasih kepada Wontong yang menyerahkan dirinya untuk dipotong sebagai pengganti ayam. Tapi kita juga pusing, media apa yang digunakan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Wontong. Wontong itu liar. Sulit juga kita untuk menemukan buluhnya yang gugur. Tempat Wontong bertelur juga jauh. Karena adanya kesulitan- kesulitan seperti itu akhirnya disepakati bahwa Wontong diasumsikan adalah ayam. Ayam tempat bertelur dan tidur induk serta anak ayam di malam hari. Diambillah Wosa itu kemudian  digendong bagai  anak kecil yang  sedang menangis minta gendong dan jalan di tengah kampung. Gendong  ( eko ) Wosa merupakan bentuk terima kasih kepada Wontong yang sudah relah menyrahkan dirinya untuk dipotong sebagai pegganti ayam. Dipercaya bahwa ketika si Sakit sudah menggendong atau eko Wosa yang berarti menina bobokan Wontong, maka kebencian dan kemarahan Wontong serentak hilang dan yang ada adalah sembuh dan sehat dari sakit ( ranggak lasa, wear pempang, mora kolang, ita di,a agu mai cias)

0 Komentar

Belum ada komentar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Inputan yang harus diisi ditandai *